Pelaksanaan emokrasi
pada masa Orde Baru
Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada orde lama telah menyebabkan
istabilitas politik yang pada akhirnya menyebabkan penderitaan bagi seluruh rakyat . Oleh karena
ituah, hal ini menimbulkan semanagat untuk
melakukan perbaikan dengan melaksanakan
pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Kemudian lahirlah masa
pemeritahan, Orde baruyang dimulais sejak tahun 1966.
Pemeritahan Orde
baru diawalui dengan dikelurkannya surat pemeritah 11 maret 1966 yang diikuti
dengan pengangkatan jendral sueharto sebagai preseden ripoblik indonisia yang
kedua rakyat menaru harapan besar pada pemerintahan ini. Rakyat telah banyak
menderita akibat penyimpangan yang terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya.
Seluruh proses penyelanggaraan Negara
harus didasarkan pada pancasila UUD 1945 oleh karena itu masa
ini disebut masa orde baru dan masa sebelumnya
disebut masa orde lama.
Masa orde
baru berhasil melaksanakan pembangunan
dimulai dengan pelita (pembangunan yang
ditunjukkan dengan peningkatan
pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain-lain.
Meskipun
demikian, dalam praktiknya pemerintahan justru menyelenggarakan
pemeritahan sesui kehendak penguasa
.bahkan ,pusat pemerintahan ada pada presiden . pemerintahan berjalan secara
otoriter dan suara rakyat sama
sekali tidak didengarkan.
Seperti pada pemerintahan sebelumnya , pemerintahan Orde Baru pun
banyak terjadi
penyimpangan-penyimpangan, yaitu sebagai berikut.
a. Pembatasan hak-hak rakyat
Jumlah partai politik
hanya dibatasi tiga. Walaupun ada kebebasan pers , namun pemerintah dapat
membredel penerbitan pers. Bagi warga
Negara yang berani mengkritik pemerintah dianggap melanggar aturan Negara .
b. pemusatan kekuasaan di tanagan presiden
Walaupun secara normal
kekuasaan dibagi ke berbagai lembaga Negara .ternyata dalam prakteknya presiden
yang mengendalikan lembaga Negara tersebut.
c. Pemilu yang tidak Demokrasi
Pemilu yang
dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Berlangsung penuh dengan kecurangan dan meluntuk
memili salah satu partai politik demi kepentingan penguasa.
D. pmbutukan
lembaga Ekstra konstitusional
Untuk
mempertahankan kekuasaan , pemerintah membentuk kopkamtib (komando operasi
pemulihan keamanan dan keterbitan ) yang brfungsi melindungi dari pihak-pihak
yang akan menjadi oposisi penguasa.
E. Korupsi,kolusi, dan Nepotisme
Akibat dari
kekuasaan yang sentralistik tersebut ,
maka penyelenggaraan pemerntahan pun
bejalan tidak terkendali. Para pejabat pun banyak yang menyelewengkan kekuasaan
dengan melakukan tindak pidana korupsi, kolupsi, dan nepotesme.
Akibatnya,rakyat semakin miskin dan menderita
pada masa ini.
Pemerintah berusaha menanamkannya nilai-nilai plitik melalui indoktrinasi .
indroktrinasi pernah kita bahas pada bab sebelumnya,kesimpulannya indoktrinasi
bukan cara yang tepat untuk menanamkan nilai politik pada warga masyarakat,
karena dalam indroktrinasi terkesan adanya unsure paksaan.
Salah satu ujut
indoktrinasi pada waktu itu adalah
dengandi adakannya penataran p4 (pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila). Bahkan , ada
lembaga khusus yang berfungsi untuk
menendalikan kurikulum, materi, nara sumber, ataupun sasaran yang hendak dicapai. Kenyataanya,
hal itu justru menjadi alat-alat utuk melangengkan kekusaan pemerintah.
Pada waktu itu
masyarakatpun tidak bias leluasa
mengakses informasi, karena pers sanagat dibatasi.mereka tidak bias
menjalankan fungsinya secara maaksimal ,
pemerintah mengendalikan pers . sehingga apa yang diberitakan olrh pers
hanyalah menyangkut kebaikan-kebaikan dari system pemerintah yang saat itu
berkuasa. Dengan minimnya informasi mengenai kehidupan politik maka akan
memenagaruhi tingkat partisipasi rakyat dalam pemerintahan.
Tatanan kehidupan
politik yang cenderung untuk kepentingan pemerintah diartikan sebagai
kepentingan umum . lembaga eksekutif lebkih diminan dan mengendalikan lembaga
legislative (DPR) dan yudikatif ( peradilan). Akibatnya , control kenerja
pemrrintah pun sangat lemah. Sehingga tidak heran pada masa sering terjadi
penyelewengan kekuasaan yang ber akibat para maraknya kasus korupsi, kolupsi,
dan nepotisme.
Adapun beberapa penyebab kegagalan masa orde baru, antara lain,
sebagai berikut .
a.
Hancurnya ekonomi nasional yang
di tandai trjadinaya krisis ekomi yang tidak kunjung adaptasi.
b.
Tidak bersatunya lagi
pilar-pilar pendukung orde baru.para mentri tidak lagi memihak pada
pemerintah, serta militer tidak lagi bersedia menjadi alat kekuasan
orde baru.
c.
Terjadinya krisis politik dan
runtuhnya legitimasi politik.rakyat yang sudah traurat seja masa sebelumnya
parlementer dan terpimpin mejadi semakin
kecewa dan m enderita .
d.
Desakan semangat demokratis
dari parapendukung demokrasi. Para pendukung demokrasi terutama para lawan
politik orde baru banyak yang tampil kembali menerut pemburan pemerintahan.
Berbagai penyimpanan
serta krisis yang datng sili berganti menyebabkan penderitaan rakyat,
kepercayaan terhadap pemerintah berangsur-angsur mulai berkurang, bahkan hal ini memincu rakyat
untuk menuntut segera dibentuknya perintahan baru dengan harapan mampu mengubah
kondsi rakyat.
Situasi politik yang
kacau menimbulkan dalam diri masyarakat untuk segara dilakukan perubahan ,
masyarakat mulai berinisiatif untuk
melakukan bebagai aksi demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi,bahkan tuntutan
dan kritikan kepada pemerintah . aksi inilebih banyak dilakukan oleh para
mahasiswa .isi tuntutan itu sebagai
besar menginginkan mundurnya pemeritah
saat itu, dan diganti denagan
pemerintahan baru yang lebih adil, jujur, dan transparan . hal ini di karenakan pemerintah yang saat itu
berkuasa dirasakan kurang biasa mengemban amanat rakyat, tetepi justru banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan
seperti terjadinya korupsi, koluksi dan nepotisme .
Lama kelamaan aksi
demonstrasi pun meluas pada
masyarakat umum. Tuntutan merekapun kurang lebih sama dengan para mahasiswa,
yaitu dibentuknya pemerintahan baru dan para pejabat yang diduga melakukan
penyiompangan harus sebagai diusut secara tuntas. Setelah berbagai aksi demokrasi
tidak kunjung usai bahkan seolah-olah semakin menjamar, akhirnya pada
tanggal 21 mei 1998, presiden sueharto
resme mengundurkan dari dan digantikan oleh wakilnya B.J. habibie.
Sejarah Orde Baru (1966-1998)
Orde
Baru adalah sebutan bagi masa
pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era
pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi
total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari
tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu
tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi
bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela
di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga
semakin melebar.
Masa Jabatan Presiden Suharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik
Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik
kembali secara berturut-turut pada
tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Politik Presiden Soeharto memulai "Orde
Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan
luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa
jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah
mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19
September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk
melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam
kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada
tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima
pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat
tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa
Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang
yang terkait denganPartai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan
menggelar Mahkamah Militer Luar Biasauntuk mengadili pihak yang
dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian
dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan
politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus
diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP
ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi
sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur
administratif yang didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi
didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara
efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya
mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat
sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil
karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan
daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi
dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II
yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi
dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan
pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI,
dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya
alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar
namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada
tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga
dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga
negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi,
yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka.
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan
pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas
pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak
pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa
Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung
Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia
berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan
pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang
diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya
ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer
Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa
Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang.
Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa
yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan
rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di
Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru
pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media
massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan
"persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh
pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat
penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar
Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian
Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah
terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap
penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan
bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen
anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini
meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik
Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan. Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa
diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya,
juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.