Donderdag 25 April 2013

masa orde baru pelajaran pkn


Pelaksanaan emokrasi pada masa  Orde Baru
              Penyimpangan-penyimpangan  yang terjadi pada orde lama telah menyebabkan istabilitas politik  yang pada  akhirnya menyebabkan  penderitaan bagi seluruh rakyat . Oleh karena ituah, hal ini menimbulkan semanagat  untuk melakukan perbaikan dengan  melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan  konsekuen. Kemudian  lahirlah masa pemeritahan, Orde  baruyang  dimulais sejak  tahun 1966.
              Pemeritahan Orde baru diawalui dengan dikelurkannya surat pemeritah 11 maret 1966 yang diikuti dengan pengangkatan jendral sueharto sebagai preseden ripoblik indonisia yang kedua rakyat menaru harapan besar pada pemerintahan ini. Rakyat telah banyak menderita akibat penyimpangan yang terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Seluruh proses penyelanggaraan  Negara harus  didasarkan  pada pancasila UUD 1945 oleh karena itu masa ini disebut masa orde baru dan masa sebelumnya  disebut masa orde lama.
              Masa orde baru  berhasil melaksanakan pembangunan dimulai dengan pelita (pembangunan  yang ditunjukkan  dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain-lain.
              Meskipun demikian, dalam praktiknya pemerintahan justru menyelenggarakan pemeritahan  sesui kehendak penguasa .bahkan ,pusat pemerintahan ada pada presiden . pemerintahan berjalan secara otoriter dan suara rakyat sama  sekali  tidak didengarkan.
              Seperti  pada pemerintahan  sebelumnya , pemerintahan Orde Baru pun banyak terjadi  penyimpangan-penyimpangan, yaitu sebagai berikut.
a.       Pembatasan hak-hak rakyat
        Jumlah partai politik hanya dibatasi tiga. Walaupun ada kebebasan pers , namun pemerintah dapat membredel  penerbitan pers. Bagi warga Negara yang berani mengkritik pemerintah dianggap melanggar aturan Negara .
b.      pemusatan kekuasaan di tanagan presiden
        Walaupun secara normal kekuasaan dibagi ke berbagai lembaga Negara .ternyata dalam prakteknya presiden yang mengendalikan lembaga Negara tersebut.
c.       Pemilu yang tidak Demokrasi
        Pemilu yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Berlangsung penuh dengan kecurangan dan meluntuk memili salah satu partai politik demi kepentingan penguasa.
                D.   pmbutukan  lembaga Ekstra konstitusional
                        Untuk mempertahankan kekuasaan , pemerintah membentuk kopkamtib (komando operasi pemulihan keamanan dan keterbitan ) yang brfungsi melindungi dari pihak-pihak yang akan menjadi oposisi penguasa.
        E.    Korupsi,kolusi, dan Nepotisme
                Akibat dari kekuasaan  yang sentralistik tersebut , maka penyelenggaraan pemerntahan  pun bejalan tidak terkendali. Para pejabat pun banyak yang menyelewengkan kekuasaan dengan melakukan tindak pidana korupsi, kolupsi, dan nepotesme. Akibatnya,rakyat semakin miskin dan menderita
        pada masa ini. Pemerintah berusaha menanamkannya nilai-nilai plitik melalui indoktrinasi . indroktrinasi pernah kita bahas pada bab sebelumnya,kesimpulannya indoktrinasi bukan cara yang tepat untuk menanamkan nilai politik pada warga masyarakat, karena dalam indroktrinasi terkesan adanya unsure paksaan.
        Salah satu ujut indoktrinasi pada waktu itu  adalah dengandi adakannya penataran p4 (pedoman penghayatan  dan pengamalan pancasila). Bahkan , ada lembaga khusus yang berfungsi  untuk menendalikan kurikulum, materi, nara sumber, ataupun   sasaran yang hendak dicapai. Kenyataanya, hal itu justru menjadi alat-alat utuk melangengkan  kekusaan pemerintah.
        Pada waktu itu masyarakatpun tidak  bias leluasa mengakses informasi, karena pers sanagat dibatasi.mereka tidak bias menjalankan  fungsinya secara maaksimal , pemerintah mengendalikan pers . sehingga apa yang diberitakan olrh pers hanyalah menyangkut kebaikan-kebaikan dari system pemerintah yang saat itu berkuasa. Dengan minimnya informasi mengenai kehidupan politik maka akan memenagaruhi tingkat partisipasi rakyat dalam pemerintahan.
        Tatanan kehidupan politik yang cenderung untuk kepentingan pemerintah diartikan sebagai kepentingan umum . lembaga eksekutif lebkih diminan dan mengendalikan lembaga legislative (DPR) dan yudikatif ( peradilan). Akibatnya , control kenerja pemrrintah pun sangat lemah. Sehingga tidak heran pada masa sering terjadi penyelewengan kekuasaan yang ber akibat para maraknya kasus korupsi, kolupsi, dan nepotisme.
Adapun beberapa penyebab kegagalan masa orde baru, antara lain, sebagai berikut .
a.       Hancurnya ekonomi nasional yang di tandai trjadinaya krisis ekomi yang tidak kunjung adaptasi.
b.      Tidak bersatunya lagi pilar-pilar pendukung orde baru.para mentri tidak lagi memihak pada
        pemerintah, serta militer  tidak lagi bersedia menjadi alat kekuasan orde baru.
c.       Terjadinya krisis politik dan runtuhnya legitimasi politik.rakyat yang sudah traurat seja masa sebelumnya parlementer  dan terpimpin mejadi semakin kecewa dan m enderita .
d.      Desakan semangat demokratis dari parapendukung demokrasi. Para pendukung demokrasi terutama para lawan politik orde baru banyak yang tampil kembali menerut pemburan pemerintahan.
        Berbagai penyimpanan serta krisis yang datng sili berganti menyebabkan penderitaan rakyat, kepercayaan terhadap pemerintah berangsur-angsur  mulai berkurang, bahkan hal ini memincu rakyat untuk menuntut segera dibentuknya perintahan baru dengan harapan mampu mengubah kondsi rakyat.
        Situasi politik yang kacau menimbulkan dalam diri masyarakat untuk segara dilakukan perubahan , masyarakat mulai berinisiatif  untuk melakukan bebagai aksi demonstrasi untuk menyuarakan aspirasi,bahkan tuntutan dan kritikan kepada pemerintah . aksi inilebih banyak dilakukan oleh para mahasiswa .isi tuntutan itu  sebagai besar menginginkan  mundurnya  pemeritah  saat itu, dan diganti  denagan pemerintahan baru yang lebih adil, jujur, dan transparan . hal ini  di karenakan pemerintah yang saat itu berkuasa dirasakan kurang biasa mengemban amanat rakyat, tetepi justru  banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan seperti terjadinya korupsi, koluksi dan nepotisme .
        Lama kelamaan aksi demonstrasi  pun meluas pada masyarakat  umum. Tuntutan merekapun  kurang lebih sama dengan para mahasiswa, yaitu dibentuknya pemerintahan baru dan para pejabat yang diduga melakukan penyiompangan harus sebagai diusut secara tuntas. Setelah berbagai aksi  demokrasi  tidak kunjung usai bahkan seolah-olah semakin menjamar, akhirnya pada tanggal 21 mei 1998, presiden sueharto  resme mengundurkan dari dan digantikan oleh wakilnya B.J. habibie.  
 Sejarah Orde Baru (1966-1998)
              Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.
Masa Jabatan Presiden Suharto
Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.
Politik Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait denganPartai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasauntuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasihat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Warga Tionghoa Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Konflik Perpecahan Pasca Orde Baru Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.  Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.





               






Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking